Sunday, April 9, 2017

Klasifikasi Tipe-tipe Eksoplanet

Artikel ini membahas secara ringkas bagaimana para ilmuwan mengklasifikasikan berbagai exoplanet (planet ekstrasurya) yang ada di galaksi kita. Exoplanet merupakan sebutan bagi planet-planet yang mengorbit bintang selain matahari kita.  Hingga 1 April 2017, sudah ditemukan 3,607 buah eksoplanet (www.exoplanet.eu).

Miniterran

Radius dibandingkan dengan Bumi: 0.03 hingga 0.4 kali radius Bumi
Massa dibandingkan dengan Bumi: 0.00001 hingga 0.1 kali massa Bumi
Miniterran merupakan jenis planet terkecil menurut Planetary Habitability Laboratory (phl.upr.edu). Ukuran planet-planet ini kira-kira sebesar Merkurius sehingga kerap disebut juga sebagai planet-planet Merkurian. Karena ukurannya yang mungil, mereka amat sulit untuk teramati. Hingga saat ini, hanya lima buah yang telah ditemukan di luar tata surya kita. Planet-planet miniterran yang telah ditemukan terletak sangat dekat dengan bintang mereka, sehingga temperatur permukaannya sangat panas dan tidak memiliki atmosfir.

Subterran

Radius dibandingkan dengan Bumi: 0.4 hingga 0.8 kali radius Bumi
Massa dibandingkan dengan Bumi: 0.1 hingga 0.5 kali massa Bumi
Planet pada kategori ini memiliki ukuran yang hampir sama dengan planet Mars. Sebagaimana Miniterran ukuran yang kecil menyebabkan keberadaan mereka di luar tata surya sangat sulit untuk dideteksi. Kebanyakan planet subterraan, dari 69 planet yang sudah ditemukan saat ini, mengorbit sangat dekat dengan bintang mereka. Selain sangat panas planet-planet ini juga secara berkala mengalami tumbukan dengan asteroid-asteroid. Mars merupakan satu-satunya planet dalam kategori subterran di tata surya kita.

Terran

Radius dibandingkan dengan Bumi: 0.8 hingga 1.5 kali radius Bumi
Massa dibandingkan dengan Bumi: 0.5 hingga 5 kali massa Bumi
Planet-planet dalam ketagori terran memiliki ukuran yang haampir sama dengan Bumi dan Venus. Planet-planet ini paling sering diindikasikan dapat ditinggali mahluk hidup. Dari 664 planet terran yang ditemukan di luar tata surya kita, 15 diperkirakan berada dalam zona hunian (habitable zone) bintang mereka. Dalam zona yang juga dikenal sebagai zona Goldilocks ini, sebuah planet dapat memiliki air dalam bentuk cairan (bukan es atau uap) sehingga bisa menyangga mahluk hidup.

Ilustrasi dari Kepler-452b, sebuah planet berukuran mirip dengan bumi pertama yang berada dalam zona hunian.
Gambar asli: NASA
Lisensi: Public Domain

Superterran

Radius dibandingkan dengan Bumi: 1.5 hingga 2.5 kali radius Bumi
Massa dibandingkan dengan Bumi: 5 hingga 10 kali massa Bumi
Superterran juga dikenal sebagai Bumi super (super-Earths). Planet-planet ini memiliki ukuran yang lebih besar daripada Bumi. Kira-kira 29 superterran diketahui mengorbit bintang-bintang mereka dalam zona hunian. Walaupun ukurannya besar, kadang-kadang sulit untuk dibedakan apakah sebuah superterran terdiri atas batuan seperti Bumi, atau terdiri atas gas seperti Neptunus.

Neptunian

Radius dibandingkan dengan Bumi: 2.5 hingga 6 kali radius Bumi
Massa dibandingkan dengan Bumi: 10 hingga 50 kali massa Bumi
Sebagaimana diisyaratkan oleh namanya, planet-planet neptunian memiliki massa yang sama dengan planet Neptunus. Kemungkinan plante-planet ini juga terdiri atas gas. Ukurannya yang besar, membuatnya lebih mudah ditemukan, walaupun mereka terletak di pinggir sistem tata surya mereka, yang disebut sebagai zona dingin (cold zone).  Dalam zona dingin, air pada permukaan planet hanya ada dalam bentuk es. Di tata surya kita sendiri, zona ini disebut sebagai sabuk Kuiper, yang didiami oleh sebuah planet kerdil yaitu Pluto.

Jovian

Radius dibandingkan dengan Bumi: >  6 kali radius Bumi
Massa dibandingkan dengan Bumi: > 50 kali massa Bumi
Jovian merupakan kelompok planet-planet yang ukurannya serupa dengan Jupiter, atau malah lebih besar. Planet-planet ini utamanya tersusun atas gas hidrogen dan helium. Karena berukuran sangat besar mereka cenderung mudah untuk teramati. Yang mengejutkan adalah karena planet-planet ini kerap ditemukan mengorbit sangat dekat dengan bintang-bintang mereka, sehingga dinamai hot Jupiter. Temuan-temuan ini mendorong para ilmuwan untuk memikirkan kembali bagaimana proses evolusi yang terjadi dalam suatu sistem tata surya.

Perbandingan ukuran antara Jupiter dengan sebuah eksoplanet bernama TrES-3b. TrES-3b memiliki periode orbit hanya 31 jam, sehingga sangat mudah untuk dideteksi menggunakan metode transit.
Gambar asli oleh: Aldaron
Lisensi: creative commons 


Tipe eksoplanet terbanyak

Selama ini, kebanyakan eksoplanet yang ditemukan bertipe subterran atau yang berukuran lebih besar lagi. Hal ini tidak berarti jumlah mereka di alam semesta memang lebih banyak, akan tetapi lebih karena keterbatasan metode pengamatan yang ada. Kebanyakan eksoplanet ditemukan dengan menggunakan metode transit, yaitu mengamati bayangan yang mereka hasilkan saat mereka melintasi bintang mereka. Akan tetapi untuk mengkonfirmasi keberadaan suatu planet kita harus pula mengamati orbit-orbit mereka. Hal ini memang mudah bagi planet-planet besar dengan orbit yang dekat seperti planet-planet hot Jupiter. Akan tetapi, penelitian terakhir menunjukkan bahwa mini-neptune, planet-planet dengan ukuran diantara bumi dan neptunus, merupakan tipe planet yang paling banyak.

Daftar Pustaka

  1. http://exoplanet.eu/
  2. http://phl.upr.edu/

Monday, April 3, 2017

Sel Darah: Kunci Keremajaan dan Melawan Penuaan

Darah dari mahluk hidup yang masih muda nampaknya memiliki kekuatan penyembuh. Akan tetapi bagaimana kita bisa memanfaatkan sifat ini tenpa harus bergantung pada donor? Penemuan protein yang dapat menjaga sel induk (stem cell) darah agar tetap muda nampaknya membuka peluang ini.

Kemampuan darah muda untuk meremajakan pertama kali diamati dalam sebuah percobaan sadis yang disebut parabiosis. Parabiosis merupakan suatu bentuk eksperimen yang sudah ada sejak 1860. Dalam percobaan ini biasanya dua ekor tikus, yang satu masih muda dan yang satu lagi sudah tua dijahit menjadi satu. Tujuannya adalah untuk menghubungkan sistem sirkulasi dari kedua tikus ini. Setelah beberapa waktu akan teramati bahwa kesehatan dari tikus yang sudah tua akan meningkat, sementara yang masih muda akan menurun. Percobaan-percobaan lain pada hewan juga menunjukkan bahwa menyuntikkan darah yang sudah tua atau muda akan menghasilkan efek yang serupa. Mungkin, fakta ini pulalah yang melatar belakangi lahirnya kisah-kisah drakula atau mahluk-mahluk seram lain, yang dituturkan kerap menghisap darah gadis atau bayi untuk mempertahankan keabadiannya. Sebagai informasi, Novel Dracula pertama kali ditulis oleh Abraham Stoker pada tahun 1897, 30 tahun setelah publikasi eksperimen parabiosis pertama.    

Ilustrasi prosedur parabiosis, gambar diambil dari Duyverman et.al. (2012)
Walaupun seram, efek serupa memang berlaku juga pada manusia. Bukti lain, ketika disuntik dengan darah manusia remaja, tikus yang telah renta menunjukkan peningkatan ingatan, kemampuan memproses informasi dan aktifitas fisik. Oleh karena itu, darah dari remaja saat ini mulai diuji cobakan sebagai pengobatan untuk penyakit-penyakit penuaan misalnya Alzheimer. 

Sayangnya, penelitian-penelitian semacam ini sangat bergantung dengan adanya donor darah usia remaja. Walaupun penelitian ini berhasil, akan dibutuhkan sangat banyak donor agar prosedur ini dapat diterapkan secara luas. Sesuatu yang sangat sulit untuk diwujudkan.

Untungnya, sel induk darah kita dapat memberikan solusi alternatif. Baik darah merah maupun darah putih dalam tubuh kita dibentuk oleh sel-sel induk. Sel-sel ini sendiri juga memiliki induk (mother stem cells) yang berasal dari sumsum tulang. Sayangnya, seiring dengan pertambahan usia, induk dari sel induk ini jumlahnya semakin berkurang. Ketika meninggal pada usia 115 tahun, darah salah satu wanita tertua di dunia hanya memiliki dua sel induk lagi. 

Sel darah merah dan darah putih
Lisensi Public Domain
Penurunan jumlah ini menyebabkan orang tua memiliki lebih sedikit sel darah merah dan darah putih yang disebut dengan  limfosit B dan T. Penurunan jumlah sel darah ini dapat menyebabkan anemia serta melemahkan sistem kekebaalan tubuh. Oleh karena itu, sistem kekebalan tubuh pada orang-orang tua biasanya tidak mampu membendung infeksi-infeksi yang hebat.

Tetapi masih ada harapan untuk meremajakan sel-sel induk ini. Sebuah tim di University of Ulm, Jerman, mengamati bahwa susmsum tulang tikus yang sudah tua mengandung sebuah protein yang disebut dengan osteopontin, dalam jumlah yang jauh lebih sedikit. Untuk mengetahui apakah protein ini memiliki pengaruh pada sel induk darah, maka tim ini menyuntikkan sel induk darah pada tikus yang memiliki sedikit osteopontin. Sangat menakjubkan karena sel-sel yang disuntikkan ini menua dengan sangat cepat. Sebaliknya, ketika sel induk yang memang sudah tua dicampurkan dengan osteopontin dan protein lain yang mengaktivasinya, sel-sel tua ini mulai memproduksi darah putih sebagaimana yang dilakukan oleh sel-sel induk darah yang masih muda. Hasil eksperimen ini menunjukkan bahwa osteopontin dapat meremajakan fungsi sel induk (Guidi et.al. 2017). Kemampuan ini mungkin dapat dimanfaatkan untuk membuat sel darah yang sudah tua kembali muda.

Ini merupakan sebuah terobosan yang besar. Akan tetapi penelitian-penelitian lebih lanjut masih diperlukan untuk mengetaahui apakah pendekatan ini dapat meremajakan sistem peredaran darah secara keseluruhan. Saat ini kebanyakan penelitian yang berupaya memanfaatkan darah sebagai zat peremajaan baru berfokus pada plasama, komponen cair dari dara. Hal ini dikarena kebanyakan peneliti berpendapat bahwa plasma mengandung faktor-faktor yang menjaga kemudaan (Conboy et.al., 2011). 

Akan tetapi tim dari Jerman ini telah menunjukkan bahwa baik plasma maupun sel darah sama-sama penting. Telah terbukti bahwa menyuntikkan plasma darah dapat meremajakan hewan yang sudah tua. Akan tetapi perlakuan ini tidak seefektif ketika dua ekor hewan berbagi sistem sirkulasi darah bersama. Peran sel darah malah mungkin lebih signifikan karena mereka mampu meresap ke jaringan-jaringan tubuh.

Tim dari Jerman ini kini tengah mengembangkan sebuah obat yang mengandung osteopontin dan protein yang mengaktifkannya. Mereka berharap obat ini dapat mendorong sel induk tua untuk bekerja selayaknya masih muda. Dengan demikian sistem kekebalan tubuh pada orang tua dapat meningkat. Obat semacam ini mungkin bermanfaat untuk melawan infeksi dan anemia. Akan tetapi tim ini juga menduga bahwa tambahan osteopontin juga mampu memperbaiki kerja jantung. Osteopontin mungkin juga dapat menjadi obat bagi kelainan-kelainan darah akibat penuaan seperti myelodysplasias.

Penelitian-penelitian ini telah menambahkan bukti bahwa sel-sel tubuh dapat diremajakan. Walaupun demikian, sejumlah pengujian klinis masih dibutuhkan agar temuan-temuan ini dapat diterapkan pada manusia.

Daftar Pustaka


  1. Conboy, I. M., Yousef, H., & Conboy, M. J. (2011). Embryonic anti-aging niche. Aging (Albany NY), 3(5), 555-563.
  2. Duyverman, A. M., Kohno, M., Duda, D. G., Jain, R. K., & Fukumura, D. (2012). A transient parabiosis skin transplantation model in mice. Nature protocols, 7(4), 763-770.
  3. Guidi, Novella, et al. "Osteopontin attenuates aging‐associated phenotypes of hematopoietic stem cells." The EMBO Journal (2017): e201694969.

ShareThis